SAMPAI RAMBU BERIKUTNYA

 
 
Mungkin ada banyak hal yang indah di dunia ini, tapi malam ini, yang indah hanya kau, dan langit malam yang gulita, jernih yang samar-samar terbungkus warna biru kelabu. Tidak ada gumpalan awan di sana bak kanvas kosong yang siap dilukis dengan hanya bintang-bintang dan bulan yang sudi diperlihatkannya. Kendati demikian dapat ku pastikan, di antara kau, bulan, dan bintang-bintang di atas sana, kaulah yang paling indah, aku bersumpah. Dan aku tidak pernah tahu bahwa di bawah langit nan luas ini, bersamamu ruang justru menyempit, menyisakan hanya kita dan riuh degup jantung yang berpacu sama cepatnya dengan aliran darah dalam pembuluh arteri. Kita terdiam, yang ramai bercengkrama hanya pikiran di kepala kita. Diam ini adalah keributan yang paling nyaring terdengar. Mengapa di saat-saat begini kata-kata malah terasa sulit untuk disusun?. Padahal kita tahu persis dari sebanyak-banyaknya waktu, yang kita punya hanya saat ini. Kau terlalu sibuk menata hati, mengantisipasi sesak yang segera menyusup bersama dingin angin malam, menusuk sampai ketulang-tulang. Sedang aku sibuk mencari jalan keluar dari labirin yang mengancam lewat bisikan "relakan atau bertahan." Yang ku tahu, bertahan sama halnya dengan berjuang lebih keras tanpa pernah dijanjikan sebuah pasti. Dan perjalanan tanpa kepastian sesungguhnya adalah salah satu cara membunuh diri dengan perlahan. Ah, andai kau tahu, kalau saja bisa, aku ingin sekali membawa mu membeku bersama waktu. haha, begitu tidak tahu dirinya aku. 

"Mengapa diam saja?" Akhirnya satu pertanyaan terlontar dari bibirmu.
 
Kau pikir aku diam saja? tidak, aku tidak pernah hanya diam, sejak awal aku telah berjudi dengan waktu, bertaruh siapa yang akan kau pilih, aku atau dirimu sendiri. 
 
"Aku tidak tahu harus berbicara apa." Pada akhirnya aku hanya melontarkan kalimat payah. Bibirku terlalu kelu untuk membebaskan isi kepalaku terjelma menjadi kata-kata. "Aku menyukai  mahakarya Pencipta yang terbentang di hadapanku saat ini." Sebab ada kau di dalamnya.

"Aku juga"

"Bolehkah kusimpan untuk diriku sendiri?"

"Dia mungkin tidak ingin dimiliki"

"Haha, tidak olehku, mungkin." Nadaku mungkin terdengar sumbang saat mengucapkannya sebab hanya lirih yang mampir dibalik sepenggal tawa itu. Demi apa pun aku ingin menyublim, menguap, berevaporasi, menjadi buih, apa pun itu, asal hilang dari sini, entah untuk berada dimana saja, asal tidak disini.
 
Hanya seulas senyum yang menjadi jawabanmu. Entah apa itu artinya. Kau seperti senang menjadikan segalanya seolah teka-teki, dan aku tak pernah berhasil menebaknya. Kau adalah sebuah ketidakpastian yang berdandan seolah sebuah jawaban. 

"Ayo kita pulang." Ajakmu terdengar begitu pasti, tanpa terselip keraguan di dalamnya. 

Haha. Lagi-lagi aku terkikih dalam hati, tampaknya dalam perjudian ini aku harus mengaku kalah pada waktu, sebab sepertinya kau memilih dirimu sendiri.

Tidak, aku tidak ingin pulang dulu. Aku tahu bahwa selamanya adalah konsep yang terlalu utopis, tapi aku ingin bersamamu sedikit lebih lama lagi. Selalu begitu.
 
"Ayo." Betapa menyedihkannya aku memilih menjawab begitu dengan berlaga tak meragu. Lagi pula tidak ada yang dapat menahanmu jika kau sendiri tak ingin, bukan? "Ayo pulang." Mungkin aku sebenarnya tidak terlalu membutuhkan jawaban atau kalimat penutup, karena meski aku ingin sekali, nyatanya aku tidak pernah benar-benar siap mendengarnya. Aku sudah menangis terlalu banyak. Kau menyerah terlalu mudah. Dan pagi menjemput terlalu cepat.

Sampai bertemu di rambu berikutnya. Jika langit sudi memberikan tempat bagi kita terlukis di antara bulan dan bintang-bintangnya.




#Sebuah puisi untuk kembali pada tahun 1898

Di antara celah ranting-ranting dan dedaunan pohon magnolia 
yang bunganya jatuh berguguran menyentuh tanah dengan lembut
yang semerbak wanginya terperangkap dalam dirimu
ingin kusimpan hanya untuk diriku sendiri
Di antara lampu-lampu di lantai dansa 
yang pendarnya berpijar begitu indah
yang kerlapnya terperangkap pada dua buah matamu
ingin kusimpan hanya untuk diriku sendiri
Di antara pasangan-pasangan yang sedang dimabuk asmara
yang saling melingkarkan lengan di pinggang dan leher bersiap menari 
ada aku dan kau yang membeku tanpa pernah jenuh bertatapan
sembari meminta hangat dari dingin yang sia-sia
Aku hanya ingin menyimpanmu untuk diriku sendiri.





Komentar

  1. 🤍🤍🤍🤍🤍 tidak bisa berkomentar ini terlalu indah untuk di puji❤️❤️

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thank you for ur feedback, Cil!!

      Hapus
  2. Aku ingin menyimpanmu utk diriku sendirii✨❤️

    BalasHapus
    Balasan
    1. Exactly, for my self only. Thank you for reading, Kris!!.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Feeling That I Hope Will Last Forever

SAJAK DUA TAHUN BELAKANGAN

EKSPEKTASI

EARL DAN VISCOUNTESS

A Little Bit of “Why Can’t We Force What We Believe on Anyone Else?”

BELAHAN BUMI BAGIAN MANA?

GENAP

ONCE YOU LET IT GO, YOU BETTER KNOW IT’S GONE

TERLENA