TERLENA
Sudah berapa lama kaum itu begitu ?
Kaum orang-orang yang menyalahkan keadaan lantaran segala hal yang terjadi terasa memojokan mereka.
Tak sadar mereka, mereka lah yang selama ini menaruh harapan terlalu tinggi pada udara kosong. Terlena dengan bujuk rayu yang kian dikejar kian nampak manis. padahal sebatas fatamorgana.
Sudah berapa lama kaum itu merutuk begitu ?
Tak henti-hentinya melontarkan kalimat sesal.
Sedu sedan juga derai lara tak jarang begitu nyata terasa.
Lalu mulai propaganda, meyakinkan kita bahwa merekalah kaum yang paling tersakiti agar aku, kau, kita, menjadi simpati, seakan merasa hal yang sama dengan mereka.
Kaum itu, kaum yang terlena dalam sedihnya, seakan enggan beranjak, seolah terlalu berat bebannya.
Terus-terusan mengais jawab dengan seribu tanya. Berharap kenyataan berubah sesuai harapannya.
Hah, mereka baru sampai pada level "ingin", belum pada "memulai"
Tak jarang kita juga jadi bagian dari kaum mereka. Disaat-saat terapuh dan kita merasa berada di level terbawah dalam hidup kita. Atau karna hal-hal seperti putus cinta, patah hati, kecewa, kehilangan, ditinggalkan, juga harapan yang pupus.
Pada masa-masa seperti itu, sadar atau tidak kita menjadi kaum yang "terlena".
Terlena diawal, juga terlena diakhir. Terlena karna manisnya, juga terlena setelah dapat pahitnya.
Kita yang jenuh pada kondisi seperti itu kemudian mulai merangkak keluar, tentu dengan niat dan tindakan real. Maka berhasil keluar dari zona "terlena" itu. Berhasil mendapati lagi warna warni dunia yang tadinya abu-abu.
Namun kita yang terus terlena tapi enggan menyingkap tirai pada akhirnya hanya akan mati rasa. Kalah, ditelan masa, dan selamanya begitu. Terlena.
Selamat memilih. Tetap disana, dikotak kelam dunia tempat mu asik meratapi yang terjadi dan terus terlena akan segala hal yang kau sendiri tak mampu menalari. Dunia yang mempertemukan satu harap dengan harap lain yang menunggu untuk dilenai kembali.
Atau berjalan keluar, meski lagi-lagi dengan harap, tapi sudah cukup berpengalaman untuk tak jatuh pada lubang yang sama kedua kalinya. Menemui harap-harap lain tapi dengan jiwa yang lebih mawas.
Sampai bertemu (lagi).
Kaum orang-orang yang menyalahkan keadaan lantaran segala hal yang terjadi terasa memojokan mereka.
Tak sadar mereka, mereka lah yang selama ini menaruh harapan terlalu tinggi pada udara kosong. Terlena dengan bujuk rayu yang kian dikejar kian nampak manis. padahal sebatas fatamorgana.
Sudah berapa lama kaum itu merutuk begitu ?
Tak henti-hentinya melontarkan kalimat sesal.
Sedu sedan juga derai lara tak jarang begitu nyata terasa.
Lalu mulai propaganda, meyakinkan kita bahwa merekalah kaum yang paling tersakiti agar aku, kau, kita, menjadi simpati, seakan merasa hal yang sama dengan mereka.
Kaum itu, kaum yang terlena dalam sedihnya, seakan enggan beranjak, seolah terlalu berat bebannya.
Terus-terusan mengais jawab dengan seribu tanya. Berharap kenyataan berubah sesuai harapannya.
Hah, mereka baru sampai pada level "ingin", belum pada "memulai"
Tak jarang kita juga jadi bagian dari kaum mereka. Disaat-saat terapuh dan kita merasa berada di level terbawah dalam hidup kita. Atau karna hal-hal seperti putus cinta, patah hati, kecewa, kehilangan, ditinggalkan, juga harapan yang pupus.
Pada masa-masa seperti itu, sadar atau tidak kita menjadi kaum yang "terlena".
Terlena diawal, juga terlena diakhir. Terlena karna manisnya, juga terlena setelah dapat pahitnya.
Kita yang jenuh pada kondisi seperti itu kemudian mulai merangkak keluar, tentu dengan niat dan tindakan real. Maka berhasil keluar dari zona "terlena" itu. Berhasil mendapati lagi warna warni dunia yang tadinya abu-abu.
Namun kita yang terus terlena tapi enggan menyingkap tirai pada akhirnya hanya akan mati rasa. Kalah, ditelan masa, dan selamanya begitu. Terlena.
Selamat memilih. Tetap disana, dikotak kelam dunia tempat mu asik meratapi yang terjadi dan terus terlena akan segala hal yang kau sendiri tak mampu menalari. Dunia yang mempertemukan satu harap dengan harap lain yang menunggu untuk dilenai kembali.
Atau berjalan keluar, meski lagi-lagi dengan harap, tapi sudah cukup berpengalaman untuk tak jatuh pada lubang yang sama kedua kalinya. Menemui harap-harap lain tapi dengan jiwa yang lebih mawas.
Sampai bertemu (lagi).
Komentar
Posting Komentar